Kamis, 17 November 2011

St. Yosefina Bakhita

Budak Belian yang menjadi Santa




Pada tahun 1869, seorang bayi perempuan dilahirkan di sebuah desa di Darfur, Sudan, Afrika dalam sebuah keluarga kaya yang amat mengasihinya. Pada umur 9 tahun, anak perempuan itu diculik oleh para pedagang budak. Rasa takut yang mencekam dan penderitaan-penderitaan yang dialaminya menghapus sebagian ingatannya. Ia bahkan lupa akan namanya sendiri! Bakhita, yang berarti “untung”, adalah nama yang diberikan oleh para penculiknya. Bakhita diperjualbelikan berulang kali di pasar-pasar El Obeid dan Khartoum. Ia mengalami penghinaan dan penderitaan akibat perbudakan, baik secara fisik maupun secara moral.


Kelak di kemudian hari, Bakhita menggambarkan sebagian dari kengerian yang dialaminya selama masa perbudakan. “Suatu hari saya secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang menyebabkan amarah putera majikan. Ia menjadi sangat berang. Ia merenggut saya dengan kasar dari tempat persembunyian saya dan mulai menghujani tubuh saya dengan cambuk dan tendangan kakinya. Akhirnya ia meninggalkan saya dalam keadaan sekarat, sama sekali tidak sadarkan diri. Beberapa budak menggotong saya dan membaringkan saya di atas tikar. Di sanalah saya terbaring selama lebih dari satu bulan.”

Selanjutnya Bakhita dijual kepada seorang jenderal Turki. Setiap hari nyonyanya menghukum Bakhita dengan lecutan cambuk dan pukulan-pukulan. Pada usia 13 tahun, Bakhita mengalami siksaan tatto yang mengerikan. “Seorang wanita yang terampil dalam seni tatto datang ke rumah jenderal ….nyonya kami berdiri di belakang kami dengan cemeti di tangan. Wanita itu membawa sepiring tepung putih, sepiring garam dan sebuah pisau cukur… Ketika ia selesai membuat gambar-gambar, wanita itu mengambil pisau cukur dan menorehkannya disepanjang garis-garis gambar. Garam ditaburkan di setiap luka….Wajah saya dikecualikan, tetapi 6 gambar dilukis di payudara saya, dan lebih dari 60 gambar di perut dan tangan saya. Saya pikir saya akan segera mati, terutama ketika garam ditaburkan ke dalam luka-luka saya….hanya karena mukjizat Tuhan sajalah, saya tidak mati. Ia mempersiapkan saya untuk hal-hal yang lebih baik.”

Pada tahun 1883, di ibukota Sudan, Bakhita dibeli oleh seorang Konsul Italia bernama Callisto Legnani. Untuk pertama kalinya sejak ia diculik, Bakhita dengan gembira menyadari bahwa tidak seorang pun menggunakan cambuk ketika memberikan perintah kepadanya; malahan sebaliknya ia diperlakukan dengan hangat dan ramah. Di rumah Tuan Legnani, Bakhita merasakan damai, kehangatan dan sukacita, meskipun kadang-kadang muncul kembali ingatan akan keluarganya yang mungkin tidak akan pernah dilihatnya lagi. Tahun 1885, situasi politik menyebabkan Tuan Legnani harus kembali ke Italia. Bakhita diajak ikut serta dan tinggal bersama Tuan Legnani serta seorang temannya, Tuan Augusto Michieli.

Setibanya di Genoa, Tuan Legnani atas desakan isteri Tuan Michieli, setuju untuk meninggalkan Bakhita bersama mereka. Ia mengikuti “keluarga” barunya ke Zianigo. Ketika lahir Mimmina, puteri keluarga Michieli, Bakhita menjadi pengasuh dan temannya.

Pada tahun 1888, Nyonya Michieli pindah ke Suakin, dekat Laut Merah untuk membantu pekerjaan suaminya. Mimmina dan Bakhita tetap di Italia, mereka tinggal di asrama yang dikelola oleh Suster-suster Canossian dari Institut Katekumen di Venice.

Di sanalah Bakhita mengenal Tuhan yang “ada dihatinya tanpa ia ketahui siapa Ia sebenarnya” Sejak masih kanak-kanak Bakhita sering bertanya-tanya: “Melihat matahari, bulan dan bintang-bintang, saya bertanya kepada diri sendiri `Siapakah gerangan Tuan atas semesta yang indah ini?' Saya merasakan suatu keinginan yang amat kuat untuk berjumpa dengan-Nya, mengenal-Nya dan menyembah-Nya." 

Pada tanggal 9 Januari 1890, Bakhita menerima sakramen inisiasi dan memperoleh nama baru: Yosefina. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan sukacitanya pada hari itu. Matanya yang bulat bersinar-sinar, menunjukkan sukacita yang amat mendalam. Sejak hari itu ia sering terlihat mencium bejana baptis sambil berkata: “Di sinilah, aku menjadi anak Allah!” Dengan bertambahnya hari, Bakhita semakin mengenal siapa itu Tuhan yang ia kenal dan ia kasihi, yang membimbingnya kepada-Nya melalui cara-Nya yang misterius, Ia yang senantiasa menggenggam tangannya.

Ketika Nyonya Michieli kembali dari Afrika untuk menjemput Mimmina dan Bakhita, Bakhita dengan tegas dan penuh keyakinan (belum pernah ia bersikap demikian sebelumnya) menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal bersama Suster-suster Canossian dan melayani Tuhan yang telah membuktikan begitu besar cinta-Nya kepadanya.

Pelan tapi pasti, Bakhita merasakan panggilan untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, pada tahun 1893 ia masuk Institut St. Magdalena dari Canossa di Venisia, Italia. Tiga tahun kemudian, pada tanggal 8 Desember 1896, Sr. Bakhita mengucapkan kaulnya kepada Tuhan yang biasa ia sapa dengan sapaan manis “Tuan!”

Selama lima puluh tahun kemudian Sr. Bakhita tinggal bersama komunitasnya di Schio, Italia. Ia melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti memasak, menjahit, merenda dan membukakan pintu. Jika sedang bertugas menjaga pintu, Sr. Bakhita akan dengan lembut menumpangkan tangannya yang hitam itu ke atas kepala anak-anak yang setiap hari datang untuk belajar di Sekolah Canossian dan mencurahkan perhatiannya kepada mereka. Karena kulitnya yang hitam legam, semua orang lebih suka memanggilnya “Mama Moretta” (Mama Hitam)

Suaranya yang hangat, dengan nada dan irama lagu daerah asalnya, menyenangkan hati anak-anak, menghibur mereka yang miskin dan menderita serta membesarkan hati mereka yang datang mengetuk pintu Institut.

Kerendahan hatinya, kesederhanaannya dan senyumnya yang senantiasa menghiasi wajahnya, membuat semua orang suka kepadanya. Saudari-saudarinya dalam komunitas mengaguminya karena sikapnya yang menyenangkan, kebaikan hatinya dan keinginannya yang kuat agar Tuhan semakin dikenal dan dikasihi.

Setelah biografinya diterbitkan pada tahun 1930, Sr. Bakhita menjadi terkenal - ia sering diundang untuk menjadi pembicara dan mengumpulkan dana untuk karya cinta kasih. Usianya semakin bertambah dan tubuhnya semakin melemah. Penyakit yang hebat mendera tubuhnya dan Sr. Bakhita pun harus tinggal di atas kursi roda. Kepada mereka yang menjenguknya serta menanyakan keadaannya, dengan tersenyum ia menjawab: “Seturut kehendak Tuan-ku”.

Dalam penderitaannya yang hebat itu, seolah-olah Sr. Bakhita mengalami kembali masa-masa perbudakannya yang mengerikan. Lebih dari sekali ia memohon kepada perawat yang menjaganya: “Aku mohon, longgarkanlah rantainya…….rantai ini sungguh berat!”. Bunda Marialah yang datang membebaskannya dari penderitaannya. Menjelang ajal, Bakhita berseru: “Bunda Maria! Bunda Maria!” dan senyum di wajahnya menjadi bukti bahwa jiwanyapun telah berjumpa dengan Bunda Allah.

Sr. Bakhita menghembuskan napas terakhir pada tanggal 8 Februari 1947 di Biara Canossian di Schio, didampingi oleh saudari-saudarinya yang berada di sekeliling pembaringannya. Jenazahnya disemayamkan di biara selama tiga hari. Orang banyak yang segera berdatangan takjub melihat tubuhnya yang tetap lemas dan tidak kaku. Para ibu mengangkat tangan Bakhita dan meletakkannya ke atas kepala anak-anak mereka, memohon berkat darinya.

Setelah wafatnya, banyak rahmat dan mukjizat terjadi. Berita tentang kekudusannya tersebar ke semua benua. Ratusan surat diterima dari banyak orang yang doanya dikabulkan dengan memohon bantuan doa St. Bakhita. 

Yosefina Bakhita dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 17 Mei 1992 dan dikanonisari pada tanggal 1 Oktober 2000 oleh Paus yang sama. Hingga saat ini, St. Yosefina Bakhita adalah satu-satunya santa yang berasal dari Sudan. Pestanya dirayakan pada tanggal 17 Mei.


Sumber : http://yesaya.indocell.net


Tidak ada komentar: