Minggu, 22 Juni 2014


Beata Mariam Baouardy
"Mistikus Melkit Penerima Stigmata"






Ia lahir karena mukjizat, dan hidupnya pun penuh mukjizat. Kesederhanaan dan kesucian hidupnya ditandai dengan pengalaman mistik dan anugerah stigmata.

Mariam Baouardy, putri pasangan Giries Baouardy dan Mariam Chahine, berdarah Palestina dari keluarga Katolik Melkit Yunani di Damaskus, Suriah. Orangtuanya tinggal di Ibillin, daerah pegunungan di atas Galilea, Palestina. Keluarga ini amat miskin.

Melkit merupakan salah satu ritus dalam tradisi Binzantin yang berpusat di Antiokhia, liturginya berbahasa Arab dan berakar dari St Basilius dan St Yohanes Chrisostomus. Umat ini adalah jemaat yang setia pada Konsili Kalsedon (451), yang sebagian memulihkan persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma pada 1724.


Anak Ajaib

Selain didera kemiskinan, biduk keluarga Baouardy juga dirundung nestapa. Chahine telah melahirkan 12 anak, tapi tak satupun dikaruniai umur panjang. Roda kehidupan keluarga ini kian terseok memilukan.



Dengan kebulatan tekad dan devosi yang besar pada Bunda Maria, pasangan Baouardy berziarah menempuh jarak 170 kilometer dengan berjalan kaki ke Bethlehem. Mereka berkanjang dalam doa di tempat kelahiran Yesus untuk mohon dikaruniai seorang putri.



Alhasil, ketulusan doa mereka melalui perantaraan Bunda Maria dikabulkan.

Anak ke-13 lahir pada malam menjelang Hari Raya Epifani, 5 Januari 1846. Bayi perempuan ini dinamai Mariam. Pada usia 10 hari, Mariam dibaptis. Ia dibesarkan dalam tradisi Gereja Katolik Melkit.



Selang dua tahun, adik laki-lakinya, Boulos (Paulus) dilahirkan. Meski berkekurangan, sampan keluarga ini terasa kian semarak dengan kehadiran dua buah hati yang telah lama dinanti.



Badai Derita

Kebahagiaan keluarga kecil ini tak bertahan lama. Ketika usia Mariam belum genap tiga tahun, orangtuanya meninggal dalam jarak beberapa hari saja. Detik-detik menjelang ajalnya, sang ayah berdoa: “St Joseph, inilah anakku.

Bunda Maria adalah ibunya. Kumohon, jagailah dia dan jadilah ayahnya”.



Lalu, Mariam diadopsi pamannya di Ibillin; dan Boulos diambil keluarga sang ibu dari Tarshiha. Meski sangat dikasihi orangtua angkatnya, rasa kehilangan

orangtua dan berpisah dengan sang adik tetap menorehkan luka di hati Mariam.



Tragedi itu menjadikan Mariam menjadi anak yang prihatin dan peka secara rohani. Ia membiasakan diri bermatiraga dan berpuasa tiap Sabtu. Kebahagiaannya ialah bermain bersama seekor burung piaraannya. Suatu saat, burung itu mati. Dalam kesedihan, gadis kecil itu mendengar suara: “Begitulah akhir segala sesuatu. Jika kamu mau mempersembahkan hatimu pada-Ku, Aku akan selalu bersamamu”. Bisikan itu terpatri dalam sanubarinya.



Ketika berusia delapan tahun, Mariam mengikuti pamannya hijrah ke Aleksandria, Mesir. Meski di Aleksandria, Mariam tak pernah mengenyam pendidikan. Ia sungguh buta huruf dan hanya bisa berbahasa Arab.



Sang paman pun berencana menikahkan Mariam dengan saudaranya di Kairo pada usia 13 tahun. Spontan, Mariam menolak. Ia tetap memelihara bisikan

yang pernah didengarnya: mempersembahkan diri bagi Tuhan semata. Bahkan, bisikan itu bergema kembali: “Mariam, Aku bersamamu. Peganglah janji yang pernah Kukatakan; Aku akan membantumu”.



Penolakan itu membuat sang paman naik pitam. Mariam pun dihukum dengan memperlakukannya seperti babu untuk melakukan pekerjaan rendahan di dapur. Ia harus menjalani perlakukan kasar, baik secara fisik maupun mental.



Berani Mati

Meski teraniaya dan memendam kegetiran hidup, tekad Mariam tak redup sedikit pun. Dalam kepedihan, ia meminta tolong pada seorang Muslim untuk mengantarkan surat pada Boulos. Ia ingin agar sang adik mau menolongnya. Kesempatan ini dipakai oleh pemuda Muslim itu untuk membujuk Mariam supaya pindah agama. Dengan tegas Mariam menepis bujukan itu, “Muslim? Tidak. Tidak akan pernah! Aku ini putri Gereja Katolik. Dengan rahmat-Nya, aku akan memeluk agama yang kuimani sebagai satu-satunya yang paling benar hingga ajalku”.



Si Muslim pun kebakaran jenggot dan berniat membunuh Mariam. Dengan pedang, ia menebas leher Mariam. Tubuh Mariam dibuang di sebuah gang kecil. Peristiwa ini terjadi pada Hari Raya Kelahiran Bunda Maria, 8 September 1858.



Ternyata Mariam mampu bertahan hidup. Seorang perempuan seperti Suster merawatnya selama empat minggu. Usai kondisinya membaik, ia diajak ke gereja dan ditinggalkan di sana. Saat itu ia memutuskan pergi dari belenggu sang paman dan tak pernah bersua lagi. Keluarganya mengira, Mariam kabur dan mungkin menjadi biarawati.



Pelayan Pengembara

Pasca tragedi penggorokan itu, Mariam bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Arab. Ia diberi makan, kamar, dan upah yang selalu dibagikan pada kaum papa. Ia menyisakan beberapa piaster –mata uang di sana- untuk membeli minyak lampu kecil yang dinyalakan di depan patung Maria. Kemiskinan menjadi pilihan hidupnya. Bajunya pun hanya selembar.



Selama beberapa tahun, hidupnya berpindah-pindah dari Aleksandria ke Yerusalem, Beirut (Lebanon) dan Marseille (Perancis) sebagai pelayan. Mariam menjadi pelayan di keluarga miskin agar bisa membantu. Banyak mukjizat dan penglihatan (visiun) dialaminya. Ia bisa mendadak buta, atau luka parah karena terjatuh dari teras rumah. Namun, Tuhan selalu melindunginya. Ia segera pindah saat keluarga yang ditempati begitu menghormatinya.



Awal Mei 1863, Mariam menjadi tukang masak di Marseilles. Tiap pagi ia bisa ke Gereja St Charles atau St Nicholas. Cara hidupnya ini kian membatinkan bisikan yang ia dengar sejak kecil, “persembahkanlah hatimu pada-Ku”.



Tak Dipercaya

Pada 1865, Mariam masuk Novisiat Capelette dari Kongregasi St Joseph of the Apparition di Marseilles. Kondisi buta huruf membuat teman-temannya bingung akan Bahasa Perancisnya. Apalagi kesehatannya pun sangat buruk. Meski sederhana dan hanya bisa berbahasa Arab, kesucian hidupnya sangat mengagumkan. Ia bahagia bisa mempersembahkan hatinya penuh bagi Tuhan.



Sejak Agustus 1866, Mariam menerima rahmat stigmata. Tatkala sedang berdoa di kapel, ia mengalami ekstase dan melihat Yesus bermahkota duri dengan lima luka-Nya. Ia mohon agar diberi penderitaan. Usai pengalaman rohani itu, ia mendapati tangannya berlumuran darah dan lengan kirinya sakit.

Sejak itu, tangan kirinya akan berdarah setiap Jumat. Tapi beberapa suster tidak percaya pada pengalaman mistiknya. Usai dua tahun novisiat, Mariam ditolak. Ia akhirnya bergabung dengan biarawati Ordo Karmel.



Rahmat Kesucian

Sebagai Karmelit, Mariam diterima dan tinggal di Biara Pau, Perancis pada Juni 1867. Tahun 1870, ia bersama beberapa rekannya diutus mendirikan Biara Karmel pertama di Mangalore, India. Setelah berkaul pada 21 November 1871, ia kembali ke Pau pada 1872.


Mariam mengalami ekstase sepanjang hidupnya. Hampir tiap hari –bahkan bisa lima kali sehari- ia merasakannya. Stigmatanya pun kian terasa sakit. Biasanya tubuhnya menjadi kaku, hingga gemetar menahan sakit. Dari 1873 hingga 1874, delapan kali tubuhnya melayang (levitasi) dalam pengalaman rohani memuncak.



Seorang Pastor Karmelit bersaksi tentang stigmata Mariam. “Telapak tangannya luka, tapi di pinggiran lukanya ada sedikit darah beku. Di tangannya, muncul seperti kancing berbentuk kepala paku. Daging telapaknya seperti dirobek, begitu pun luka kakinya. Lukanya segar dan robekan dagingnya lebih parah daripada di tangannya.” Lambat laun, banyak orang memberikan kesaksian akan hal ini.



Karena kepolosannya, Mariam tak menyadari bahwa stigmata merupakan rahmat istimewa dan langka. Ia justru melihatnya sebagai “tanda-tanda celaka”, dan mengemis pada Tuhan agar membebaskannya. Periode terakhir stigmata ini terjadi di Bethlehem, April 1876.



Kembali ke Bethlehem

Seizin Takhta Suci, Mariam diutus untuk mendirikan Biara Karmel pertama di Bethelem bersama beberapa rekan pada 1875. Pada Agustus 1878, tangan kirinya patah karena jatuh saat membawa air untuk para pekerja yang sedang

membangun biara baru. Selain tangan, paru-paru dan saluran pernafasannya terkena infeksi. Kesehatannya langsung terpuruk. Suster Karmelit ini sadar, kematian sedang menantinya.



Pada 26 Agustus 1878, Mariam merasa tercekik dan jatuh. Detik terakhir sebelum mengatupkan mata untuk selamanya, ia bergumam, “Yesusku, ampunilah aku!” Anugerah stigmata menjadikannya dikenal sebagai Sr Maria dari Yesus yang Tersalib. Ia hadir ke dunia berkat ziarah orangtuanya di Bethlehem; dan ia kembali ke Bethlehem untuk mengakhiri hidupnya.



Paus Yohanes Paulus II membeatifikasinya pada 13 November 1983. Pestanya dirayakan tiap 26 Agustus.


Sumber : www.hidupkatolik.com