Rabu, 23 November 2011

St. Zakharia




Zakharia adalah seorang biarawan Benediktin dari Yunani yang hidup pada abad kedelapan. Ia diangkat menjadi kardinal dan kemudian paus. Pada waktu itu, terjadi peperangan di seluruh negeri Italia. Paus St Zakharia mengusahakan perdamaian dan menyelamatkan rakyat dari perang yang mengerikan. Terkadang, ia menanggung resiko kehilangan nyawa dalam melakukannya.

Karena orang kudus kita begitu lembut dan baik hati, para pemimpin bersedia melakukan apa yang dimintanya. Bahkan bagi para musuh, ia siap sedia membantu dan memperlakukan mereka sebaik mungkin. Ia tak pernah menuntut balas pada mereka. Ketika Paus Zakharia tahu bahwa kaum Lombard hendak menyerang Roma, ia minta bertemu dengan pemimpinnya. Paus dan Liutprand dari kaum Lombard saling bertemu. Entah apa yang mereka perbincangkan satu sama lain, hasilnya sungguh amat mengagumkan. Liutprand membatalkan serangan. Ia juga mengembalikan semua wilayah yang diambil alih di area tersebut selama tigapuluh tahun belakangan. Ia bahkan membebaskan semua tahanan. Liutprand juga menandatangani suatu perjanjian duapuluh tahun di mana kepada bangsa Romawi diberikan jaminan bebas dari serangan kaum Lombard.

St Zakharia dikenal sebagai seorang bapa sejati bagi kaum fakir miskin. Ia mendirikan rumah-rumah bagi kaum papa dan para pengembara. Hatinya yang penuh kasih tak dapat tahan melihat penduduk menderita. Suatu ketika ia mendengar beberapa saudagar telah membeli budak-budak miskin di Roma dan hendak menjual budak-budak itu ke Afrika. Ia memanggil para saudagar itu dan mencela mereka karena begitu keji. Kemudian paus menebus harga yang mereka minta untuk budak-budak itu dan membebaskannya.

Ketika St Zakharia wafat pada tahun 752, semua orang berduka sebab kehilangan seorang bapa yang begitu baik dan kudus.

Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Yakobus Alfeus





St. Yakobus MudaSt. Yakobus adalah putera Alfeus dan saudara sepupu Yesus. Setelah kenaikan Yesus ke surga, Yakobus menjadi Uskup Yerusalem. Orang banyak sangat menghormatinya dan memberinya julukan “Yakobus si Adil,” yang berarti “Yakobus yang Kudus.” Ia juga dijuluki “Yakobus Muda,” karena ia lebih muda dari seorang rasul lainnya yang juga bernama Yakobus. Yakobus yang lain itu dijuluki “Yakobus Tua” karena ia lebih tua usianya.

St. Yakobus seorang yang lemah lembut dan pemaaf. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk berdoa. Terus-menerus ia memohon kepada Tuhan untuk mengampuni mereka yang menganiaya para pengikut Kristus. Bahkan ketika para penganiaya umat Kristen menjatuhkan hukuman mati atasnya, Yakobus memohonkan ampun bagi mereka kepada Tuhan. St. Yakobus wafat sebagai martir pada tahun 62.

Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Waltrudis



Waltrudis dilahirkan di Belgia pada abad ketujuh. Ibunya, ayahnya serta saudarinya, semuanya telah dinyatakan kudus pula. Waltrudis tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita. Meskipun pada saat bersenang-senang, ia selalu mempunyai cara untuk memberikan kritik membangun kepada orang lain. Beberapa pemuda ingin menikahinya. Pada masa itu, orangtualah yang memilihkan suami bagi puteri mereka. Orangtuanya memilih Pangeran Madelgarius. Tidak ada yang lebih tepat selain dia, sebab ia kelak dinyatakan kudus juga. Ia adalah St. Vincentius Madelgarius. Pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak. Menakjubkan, semuanya juga telah dinyatakan kudus!

St. Waltrudis merasa bahagia sebab Tuhan memberinya sebuah keluarga yang luar biasa. Tetapi, ia harus banyak menderita juga sepanjang hidupnya. Perempuan-perempuan yang iri hati menyebarkan gosip-gosip yang amat jahat mengenainya. Para perempuan itu tidak memiliki hati selembut dan semurni hati Waltrudis. Mereka tidak suka orang beranggapan bahwa Waltrudis lebih baik dari mereka. Jadi, mereka mengatakan Waltrudis berdoa dan melakukan perbuatan-perbuatan baik hanya sebagai suatu cara untuk menutupi dosa-dosa rahasianya yang mengerikan. Tentu saja hal itu tidak benar, tetapi Waltrudis tidak berusaha membela diri. Ia merenungkan bagaimana Yesus harus menderita di salib, dan seturut teladan-Nya, ia mengampuni mereka semua.

Tak berapa lama setelah kelahiran anak mereka yang terakhir, St. Vincentius mengemukakan bahwa ia sungguh ingin hidup sebagai seorang rahib. Sesungguhnya, ia ingin melewatkan seluruh sisa hidupnya dalam biara. Waltrudis mengerti dan memberikan ijin kepada suaminya. St. Vincentius mengatur agar segala kebutuhan keluarganya tercukupi. Pasangan bahagia itu akan saling merindukan satu sama lain. Namun demikian, Waltrudis tidak hendak menahan suaminya. Ia rela berkurban bagi Tuhan.

Dua tahun kemudian, Waltrudis memutuskan untuk menjadi seorang biarawati. Ia banyak berkurban dan bermatiraga, serta murah hati kepada kaum miskin. Orang banyak datang kepadanya memohon nasehat rohani dan sebagian di antaranya disembuhkan. St. Waltrudis wafat pada tahun 688. Setelah kematiannya, banyak orang yang datang ke makam untuk mohon bantuan doanya, disembuhkan dengan cara yang ajaib.

Sumber : Yesaya.indocell.net



St. Vinsensius dari Saragossa


St. Vinsensius dari SaragossaVinsensius wafat dimartir di Spanyol pada tahun 304, yaitu tahun yang sama St. Agnes wafat dimartir di Roma. Mereka berdua merupakan korban dari penganiayaan kejam yang dilakukan oleh Kaisar Dacian.

Vinsensius dibesarkan di Saragossa, Spanyol. Ia menerima pendidikan dari Uskup St. Valerius. Bapa Uskup melantik Vinsensius sebagai diakon. Meskipun Vinsensius masih muda, St. Valerius mengenali bakat-bakatnya dan kebaikan hatinya. Uskup Valerius memintanya untuk mewartakan dan mengajarkan tentang Yesus dan Gereja.

Kaisar Dacian menangkap baik Valerius maupun Vinsensius. Ia memenjarakan mereka untuk jangka waktu yang lama. Tetapi, keduanya tidak membiarkan diri berputus asa. Mereka berdua tetap setia kepada Yesus. Kemudian, kaisar mengirim Uskup Valerius ke pembuangan, tetapi Diakon Vinsensius diperintahkannya agar disiksa dengan kejam.

Vinsensius mohon kekuatan dari Roh Kudus. Ia ingin tetap setia kepada Yesus tak peduli betapa dahsyat derita yang akan menimpanya. Tuhan mengabulkan permohonannya dengan memberikan kekuatan yang ia minta. Diakon Vinsensius tetap merasakan kedamaian selama menjalani segala macam siksaan yang dikenakan kepadanya. Ketika aniaya telah berakhir, ia dikembalikan ke penjara di mana ia mempertobatkan penjaga penjara. Pada akhirnya, kaisar menyerah dan mengijinkan orang mengunjungi Vinsensius. Umat Kristiani datang dan merawat luka-lukanya. Mereka berusaha sebaik mungkin agar Vinsensius merasa nyaman. Tak lama kemudian Vinsensius wafat.

Sumber : Yesaya.indocell.net


Senin, 21 November 2011

St. Ulbanus



St Ubaldus hidup pada abad keduabelas di Italia. Ia seorang anak yatim piatu yang dibesarkan oleh pamannya, seorang uskup. Ubaldus memperoleh pendidikan yang baik. Setelah tamat sekolah, meski berkesempatan untuk menikah, ia memilih menjadi seorang imam. Di kemudian hari, ia ditahbiskan sebagai Uskup Gubbio, tempat kelahirannya.

St Ubaldus terkenal karena kelamahlembutan dan kesabarannya. Suatu ketika, misalnya, seorang pekerja sedang memperbaiki tembok kota. Ia menyebabkan kebun anggur uskup rusak parah. Bapa uskup dengan halus menunjukkan kesalahannya. Tetapi, pekerja ini malahan berang. Mungkin saja ia bahkan tidak mengenali uskup. Ia mendorong bapa uskup begitu keras hingga uskup jatuh terjerembab ke dalam semen basah; sekujur tubuhnya berlumuran semen. Uskup bangkit, membersihkan diri dan masuk ke dalam rumahnya. Beberapa orang yang menyaksikan semua peristiwa ini menuntut agar sang pekerja dihadapkan ke pengadilan. Uskup Ubaldus muncul di depan pengadilan dan mendapatkan pembebasan bagi sang pekerja.

Uskup yang kudus ini cinta damai dan ia memiliki keberanian untuk mempertahankannya. Suatu kali, ketika penduduk Gubbio saling berkelahi di jalanan, uskup melemparkan diri di antara kedua masa yang sedang marah. Ia tampak tak takut akan kibasan pedang dan timpukan batu-batu. Sekonyong-konyong, uskup jatuh tergeletak di tanah. Seketika itu juga orang-orang berhenti berkelahi. Mereka menyangka bapa uskup tewas terbunuh. Tetapi Uskup Ubaldus bangkit. Ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia sama sekali tidak cedera. Penduduk bersyukur kepada Tuhan. Mereka berhenti berkelahi dan pulang ke umah.

Di lain waktu, Kaisar Frederick Barbarossa sedang dalam perjalanan untuk menyerang Gubbio. St Ubaldus tidak menanti kaisar beserta bala tentaranya tiba. Ia malahan datang menyongsong kaisar dan berbincang dengannya. Tak seorang pun tahu apa yang dikatakannya. Yang mereka tahu ialah bahwa bapa uskup berhasil meyakinkan kaisar untuk meninggalkan Gubbio.

Uskup Ubaldus menderita banyak penyakit fisik. Namun demikian, ia tidak pernah membicarakannya. Pada hari Minggu Paskah tahun 1160, ia bangkit untuk melayani Misa. Ia menyampaikan homili yang indah dan memberkati umatnya. Lalu, ia kembali tidur dan tak pernah dapat bangun kembali. Ia wafat pada tanggal 16 Mei 1160. Penduduk berbondong-bondong datang untuk menyampaikan hormat mereka. Mereka menangis dan berdoa memohon kiranya St Ubaldus memelihara mereka dari surga.

Sumber :  Yesaya.indocell.net


St. Tarsisius






St. TarsisiusPernahkah kamu berangan-angan melakukan sesuatu yang gagah perkasa? Jika pernah, ini dia santo yang tepat bagimu, seorang remaja yang gagah berani hingga rela menanggung resiko kehilangan nyawanya sendiri guna memberikan Yesus kepada umat Kristiani lainnya.
Semua jemaat Gereja Perdana menerima Komuni Kudus setiap hari, dan jika mereka tidak dapat menerimanya bersama-sama dengan jemaat yang lain, maka Hosti akan diantarkan bagi mereka.
St. Tarsisius adalah seorang Putera Altar yang tinggal di Roma. Ketika sedang mengantar Hosti Kudus, St. Tarsisius diserang oleh segerombolan berandal kafir. Ia tidak rela membiarkan Hosti Kudus dipermainkan dan dimusnahkan oleh para berandal itu, oleh karenanya ia berkelahi dengan mereka. Gerombolan itu merajamnya sampai mati. Demikianlah St. Tarsisius wafat sebagai martir pada pertengahan abad ketiga. Ia dimakamkan dalam Katakomba Paus St. Kalistus yang terletak di Appian Way.

St. Tarsisius juga dianggap sebagai Diakon karena tugas Diakon-lah membagikan Komuni pada kesempatan-kesempatan khusus serta mengantar Hosti dari gereja ke gereja.

Baik sekali jika para remaja mohon bantuan doa St. Tarsisius, sebab ia adalah santo pelindung remaja. Pestanya dirayakan setiap tanggal 15 Agustus.


Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Sabas




St. SabasSabas, yang dilahirkan pada tahun 439, adalah salah seorang dari rahib Palestina yang termasyhur. Ayahnya seorang pejabat dalam dinas militer. Ketika ayahnya harus pergi ke Alexandria, Mesir, ia menitipkan puteranya yang masih kecil kepada saudara iparnya. Namun karena bibinya memperlakukannya dengan buruk, Sabas kecil melarikan diri ke rumah pamannya yang lain. Ketika timbul pertengkaran di antara kedua pamannya itu, Sabas merasa tidak tenang. Ia senang melihat semua orang hidup dalam damai. Jadi, ia melarikan diri lagi dan tinggal di sebuah biara. Kedua pamannya merasa malu atas perbuatan mereka. Mereka meminta Sabas untuk kembali dan mereka berjanji akan memberikan kepadanya semua hak warisannya. Tetapi, Sabas merasa berbahagia tinggal di biara. Ia tidak mau meninggalkannya. Meskipun di biara ia menjadi rahib yang paling muda, tetapi dialah yang paling tekun berdoa.

Ketika usianya delapanbelas tahun, Sabas pergi ke Yerusalem. Ia ingin mencoba hidup sendirian bersama Tuhan saja. Ia dinasehati agar tinggal di biara lain untuk sementara waktu oleh sebab ia masih amat muda. Sabas taat dan dengan sukacita mengerjakan semua pekerjaan berat. Ia membelah kayu untuk perapian dan memikul ember air yang berat. Suatu hari, St. Sabas diutus ke Alexandria untuk menemani seorang rahib. Di sana, ia berjumpa dengan ayah ibunya! Orangtuanya mengupayakan segala cara agar Sabas mau tinggal bersama mereka. Mereka ingin agar Sabas menikmati kehormatan yang sama seperti yang telah diperoleh ayahnya. Tidak demikian dengan Sabas! Ia bahkan tidak mau menerima uang yang mereka coba berikan kepadanya. Akhrinya, Sabas menerima juga tiga keping emas. Ketika ia tiba kembali di biaranya, diserahkannya kepingan-kepingan emas itu kepada kepala biara.

Pada akhirnya, selama empat tahun Sabas dapat juga menikmati hidup sendirian bersama Tuhan saja, seperti yang didambakannya. Tetapi, sesudah itu ia harus memulai sebuah biara baru. Banyak murid datang kepadanya untuk menjadi rahib. Tak lama kemudian, St. Sabas diserahi tanggungjawab atas semua rahib di Palestina. Sekali waktu Sabas diutus kepada kaisar untuk masalah-masalah Gereja yang penting. Meskipun demikian, Sabas tetap mengenakan jubah sederhananya dan tetap setia pada jam-jam doanya. St. Sabas wafat pada tahun 532.

Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Radbertus



St Radbertus hidup pada abad kesembilan di Perancis. Tak seorang pun tahu siapa orangtuanya. Mereka meninggalkan bayi mereka yang baru dilahirkan di depan pintu Biara Notre Dame. Para biarawati mengasihi dan merawat sang bayi. Mereka menamainya Radbertus. Ketika sudah cukup besar untuk belajar, Radbertus dikirimkan kepada para biawaran St Petrus yang tak jauh dari sana untuk dididik.

Radbertus senang belajar dan teristimewa menaruh minat pada sastra Latin. Setelah dewasa, ia hidup tenang sebagai ilmuwan. Ia tetap seorang awam selama beberapa tahun. Kemudian ia merasakan panggilan untuk menjadi seorang biarawan. Ia menggabungkan diri dalam suatu komunitas yang dipimpin oleh dua abbas yang penuh semangat, yakni St Adalhard dan saudaranya yang menggantikannya, Abbas Wala. Radbertus berupaya menjadi seorang biarawan yang kudus. Ia kerap menemani kedua abbas dalam perjalanan-perjalanan mereka. Ia menulis biografi kedua abbas setelah mereka wafat. Radbertus menjadi seorang ahli Kitab Suci. Ia menulis ulasan panjang mengenai Injil St Matius. Ia juga menulis ulasan mengenai bagian-bagian lain dari Injil. Tetapi karyanya yang paling tersohor berjudul “Tubuh dan Darah Kristus”.

Radbertus tidak merasakan panggilan untuk menjadi imam. Tetapi ia dibujuk untuk menerima penunjukkan sebagai abbas selama tujuh tahun lamanya. Kemudian ia mendesak untuk kembali ke cara hidup dalam doa, meditasi, belajar dan menulis. Masa jabatannya sebagai abbas sungguh amat sulit baginya meski ia berupaya melakukan yang terbaik seturut kemampuannya. Ia menghabiskan sisa hidupnya dengan berdoa, menulis dan melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Radbertus wafat pada tahun 860.

Sumber : Yesaya.indocell.net




Minggu, 20 November 2011

St. Padre Pio dari Pietrelcina




Francesco Forgione dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1887 di sebuah kota kecil bernama Pietrelcina, Italia selatan, dalam wilayah Keuskupan Agung Benevento. Ia adalah anak kelima dari delapan putera-puteri keluarga petani Grazio Forgione dan Maria Giuseppa De Nunzio (Mamma Peppa). Mamma Peppa mengenangnya sebagai anak yang berbeda dari anak-anak lain sebayanya, “ia tidak pernah tidak sopan ataupun bersikap tidak pantas.” Sejak usia lima tahun, Francesco dianugerahi penglihatan-penglihatan surgawi dan juga mengalami penindasan-penindasan setan; ia melihat dan berbicara dengan Yesus dan Santa Perawan Maria, juga dengan malaikat pelindungnya; sayangnya, kehidupan surgawi ini disertai pula oleh pengalaman tentang neraka dan setan. Ketika usianya duabelas tahun, Francesco kecil menerima Sakramen Penguatan dan menyambut Komuni Kudus-nya yang Pertama.

Pada tanggal 6 Januari 1903, terdorong oleh semangat yang bernyala-nyala, Francesco yang kala itu berusia enambelas tahun masuk novisiat Biarawan Kapusin di Morcone. Pada tanggal 22 Januari, Francesco menerima jubah Fransiskan dan menerima nama Broeder Pio. Di akhir tahun novisiat, Broeder Pio mengucapkan kaul sederhana, yang dilanjutkan dengan kaul meriah pada tanggal 27 Januari 1907. Karena kesehatannya yang buruk, setelah ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 10 Agustus 1910 di Katedral Benevento, Padre Pio harus tinggal kembali bersama keluarganya. Para dokter yang mendiagnosanya memaklumkan bahwa ia mengidap infeksi paru-paru dan bahwa masa hidupnya hanya tinggal sebulan saja.

Meski demikian, setelah enam tahun bergulat dengan penyakitnya, kesehatan Padre Pio mulai membaik. Pada bulan September 1916, Padre Pio diutus ke rumah Biara San Giovanni Rotondo, di mana ia tinggal hingga akhir hayatnya. Bagi Padre Pio, iman adalah hidup: ia menghendaki segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu dalam terang iman. Seringkali ia tampak tenggelam dalam doa-doa yang khusuk. Ia melewatkan siang hari dan sebagian besar malam hari dalam percakapan mesra dengan Tuhan. Padre Pio akan mengatakan, “Dalam kitab-kitab kita mencari Tuhan, dalam doa kita menemukan-Nya. Doa adalah kunci yang membuka hati Tuhan.” Iman membimbingnya senantiasa untuk menerima kehendak Allah yang misterius. 

Pada tanggal 20 September 1918, sementara berdoa di depan sebuah Salib di kapel tua, sekonyong-konyong suatu sosok seperti malaikat memberinya stigmata. Stigmata itu terus terbuka dan mencucurkan darah selama limapuluh tahun. Dalam surat tertanggal 22 Oktober 1918 kepada Padre Benedetto, pembimbing rohaninya, Padre Pio mengisahkan pengalaman penyalibannya:

“… Apakah yang dapat kukatakan kepadamu mengenai penyalibanku? Ya Tuhan! Betapa aku merasa bingung dan malu apabila aku berusaha menunjukkan kepada orang lain apa yang telah Engkau lakukan kepadaku, makhluk-Mu yang hina dina!

Kala itu pagi hari tanggal 20 [September] dan aku sedang berada di tempat paduan suara setelah perayaan Misa Kudus, ketika suatu istirahat, bagaikan suatu tidur yang manis menghampiriku. Segenap indera, lahir maupun batin, pula indera jiwa ada dalam ketenangan yang tak terlukiskan. Ada suatu keheningan mendalam di sekelilingku dan di dalamku; suatu perasaan damai menguasaiku dan lalu, semuanya terjadi dalam sekejab bahwa aku merasa bebas sepenuhnya dari segala keterikatan. Ketika semuanya ini terjadi, aku melihat di hadapanku, suatu penampakan yang misterius, serupa dengan yang aku lihat pada tanggal 5 Agustus, yang berbeda hanyalah kedua tangan, kaki dan lambung-Nya mencucurkan darah. Penglihatan akan Dia mengejutkanku: apa yang kurasakan pada saat itu sungguh tak terkatakan. Aku pikir, aku akan mati; dan pastilah aku mati jika Tuhan tidak campur tangan dan memperkuat hatiku, yang nyaris meloncat dari dadaku! Penglihatan berakhir dan aku tersadar bahwa kedua tangan, kaki dan lambungku ditembusi dan mencucurkan darah. Dapat kau bayangkan siksaan yang aku alami sejak saat itu dan yang nyaris aku alami setiap hari. Luka di lambung tak henti-hentinya mencucurkan darah, teristimewa dari Kamis sore hingga Sabtu. Ya Tuhan, aku mati karena sakit, sengsara dan kebingungan yang aku rasakan dalam kedalaman lubuk jiwaku. Aku takut aku akan mencucurkan darah hingga mati! Aku berharap Tuhan mendengarkan keluh-kesahku dan menarik karunia ini daripadaku….”

Padre Pio adalah imam pertama yang menerima stigmata Kristus. Para superiornya berusaha merahasiakan kejadian itu, kendati demikian, berita segera menyebar dan ribuan orang berduyun-duyun datang ke biara yang terpencil itu, baik mereka yang saleh maupun mereka yang sekedar ingin tahu. Sesungguhnya, setiap pagi, sejak pukul empat dini hari, selalu ada ratusan orang dan terkadang bahkan ribuan orang menantinya.

Padre Pio tidur tak lebih dari dua jam setiap harinya dan tak pernah mengambil cuti barang sehari pun selama limapuluh tahun imamatnya! Ia biasa bangun pagi-pagi buta guna mempersiapkan diri mempersembahkan Misa Kudus. Setelah Misa, Padre Pio biasa melewatkan sebagian besar harinya dalam doa dan melayani Sakramen Pengakuan Dosa. Hidupnya penuh dengan berbagai karunia mistik, termasuk kemampuan membaca batin para peniten, bilokasi, levitasi dan jamahan yang menyembuhkan. Darah yang mengucur dari stigmatanya mengeluarkan bau harum mewangi atau harum bunga-bungaan.

Padre Pio memiliki dua prakarsa dalam dua arah: arah vertikal kepada Tuhan, dengan membentuk “Kelompok Doa” pada tahun 1920 yang masih aktif hingga kini dengan 400.000 pendoa yang tersebar di seluruh dunia. Arah horizontal kepada komunitas yang menderita, dengan mendirikan sebuah rumah sakit modern “Casa Sollievo della Sofferenza” (Rumah untuk Meringankan Penderitaan) yang dibuka pada tanggal 5 Mei 1956, dan hingga kini melayani sekitar 60.000 pasien setiap tahunnya.

Selama lima puluh tahun imamatnya, Padre Pio menjalin persatuan yang akrab mesra dengan Tuhan melalui Ekaristi Kudus. Yang paling luar biasa dalam hidupnya bukanlah mukjizat, penyembuhan ataupun pertobatan orang dengan perantaraannya, melainkan pelayanannya di altar, mempersembahkan Kurban Kudus Misa, dimana ia menjadi satu dengan Kristus yang tersalib.

“… kalian akan datang kepada Tuhan dan menempatkan diri di hadirat-Nya karena dua alasan utama. Pertama, kita menyampaikan kepada Tuhan penghormatan dan ketaatan yang memang sudah sepatutnya. Hal itu dapat dilakukan tanpa Ia berbicara kepada kita, dan tanpa kita berbicara kepada-Nya, sebab kewajiban ini dapat ditunaikan dengan mengakui Dia sebagai Tuhan kita, dan mengenali diri sebagai makhluk ciptaannya yang hina dina, yang secara rohani rebah di hadapan-Nya, menanti perintah-perintah-Nya. Betapa banyak para kudus yang kerapkali menempatkan diri di hadapan Raja kita, tanpa berbicara kepada-Nya ataupun mendengarkan-Nya, melainkan hanya sekedar dilihat oleh-Nya, agar dengan ketekunan mereka ini mereka boleh dianggap sebagai hamba-hamba-Nya yang setia? Perilaku ini, menghaturkan diri di hadapan Tuhan semata-mata guna memberikan diri secara sukarela sebagai hamba-hamba-Nya adalah yang paling kudus, paling unggul, paling murni dan juga paling sempurna.

Alasan kedua menghaturkan diri di hadirat Allah sementara berdoa adalah untuk berbicara kepada-Nya dan mendengarkan suara-Nya lewat inspirasi dan pencerahan batin…. apabila kalian berdoa di hadirat Tuhan, hadapilah kebenaran, berbicaralah kepada-Nya jika kalian dapat, dan jika kalian tak dapat mengatakannya, berdiam diri sajalah, biarlah dirimu dilihat oleh-Nya, dan janganlah khawatir lagi mengenainya….”

Padre Pio dengan tulus menganggap diri sebagai tidak berguna, tidak layak menerima anugerah-anugerah Tuhan, penuh kelemahan dan cacat cela, walau demikian diberkati dengan karunia-karunia ilahi. Di tengah kekaguman orang terhadap dirinya, Padre Pio akan mengatakan, “Aku hanya ingin menjadi seorang biarawan miskin yang berdoa.”

Sejak masa muda, kesehatan Padre Pio amat rapuh, dan semakin memburuk keadaannya pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Pada tanggal 23 September 1968, pukul 2.30 dini hari, dalam usia delapanpuluh satu tahun, Saudari Maut menjemputnya dalam keadaan siap lahir batin dan damai tenang. Segera setelah ia wafat, kamarnya dipenuhi bau harum semerbak selama beberapa saat lamanya, seperti bau harum yang memancar dari luka-lukanya selama limapuluh tahun penderitaannya; stigmata tak lagi tampak, tak terlihat sama sekali adanya darah ataupun tanda-tanda bekas luka.

Pada tanggal 20 Februari 1971, belum genap tiga tahun setelah wafat Padre Pio, Paus Paulus VI berbicara mengenainya kepada para Superior Ordo Kapusin, “Lihat, betapa masyhurnya dia, betapa seluruh dunia berkumpul sekelilingnya! Tetapi mengapa? Apakah mungkin karena ia seorang filsuf? Karena ia bijak? Karena ia cakap dalam pelayanan? Karena ia mempersembahkan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari fajar hingga gelap dan - tak mudah mengatakannya - ia adalah dia yang menyandang luka-luka Tuhan kita. Ia adalah manusia yang berdoa dan yang menderita.”

Padre Pio dinyatakan sebagai Venerabilis pada tanggal 18 September 1997 oleh Paus Yohanes Paulus II; pada tanggal 2 Mei 1999 dibeatifikasi; dan akhirnya dikanonisasi pada tanggal 16 Juni 2002 di Roma, oleh Paus yang sama. Gereja memaklumkan pesta liturgis St Padre Pio dari Pietrelcina dirayakan pada tanggal 23 September.


Sumber : Yesaya.indocell.net











St. Odilia


St Odilia, yang dikenal juga sebagai St Ottilia, dilahirkan di Obernheim, suatu desa di pegunungan Vosge, Perancis pada tahun 660, dari pasangan bangsawan Aldaric dan Bereswinda. Aldaric seorang tuan tanah yang kaya raya. Karena puterinya lahir buta, Aldaric berniat membunuhnya, sebab ia berpendapat bahwa kebutaan itu amat memalukan serta merendahkan martabat keluarga. Tak ada jalan lain bagi Bereswinda selain dari melarikan bayinya yang malang ke suatu tempat yang aman. Seorang ibu petani yang dahulu bekerja sebagai pembantu di rumahnya bersedia menerima anak itu. Ketika peristiwa pelarian ini diketahui, Bereswinda menyuruh ibu pengasuh melarikan bayinya ke Baumeles-Dames, dekat Besancon. Di sana ada sebuah biara para suster. Untunglah suster-suster di biara bersedia menerima dan merawat Odilia.

Hingga usianya duabelas tahun, gadis kecil ini belum juga dibaptis. Pada suatu hari Tuhan menggerakkan Santo Erhart, Uskup Regensburg, untuk pergi ke Biara Baumeles-Dames, tempat gadis kecil itu berada. Bapa Uskup membaptisnya dengan nama Odilia. Ketika disentuh oleh minyak krisma pada saat pembaptisan, seketika itu juga matanya terbuka dan ia dapat melihat! Uskup Erhart memberitahukan mukjizat ini kepada keluarga Aldaric. Tetapi sang ayah tetap bersikukuh menolak untuk mengakui Odilia sebagai puterinya. Hugh, kakak Odilia yang terkesan akan mukjizat penyembuhan adiknya, berusaha mempertemukan Odilia dengan ayahnya. Melihat kenekatan Hugh, bangkitlah murka sang ayah; ia menjadi berang, lalu menebas kepala puteranya dengan pedang. Akhirnya, Aldaric menyesali perbuatannya yang keji dan bersedia menerima Odilia sebagai puterinya.

Odilia meneruskan karyanya di Obernheim bersama kawan-kawannya. Dia membaktikan diri dalam karya-karya amal membantu mereka yang miskin papa dengan semangat pengabdian dan cinta kasih.

Ayahnya bermaksud menikahkan Odilia dengan seorang pangeran. Odilia menolak; tetapi karena ayahnya terus memaksa, Odilia melarikan diri dari rumah. Aldaric akhirnya mengalah dan membujuk puterinya pulang; ia bahkan mengijinkan Odilia mengubah istananya di Hohenburg menjadi sebuah biara. Odilia menjadi kepala biara dan di kemudian hari membangun sebuah biara lain, Biara Odilienberg, di Niedermunster. Di sanalah ia membaktikan diri dalam karya bagi Tuhan dan sesama hingga wafatnya pada tanggal 13 Desember 720.

Sumber : Yesaya.indocell.net



St. Narcissus


Narcissus hidup pada abad kedua dan awal abad ketiga. Ia adalah seorang lanjut usia ketika ditahbiskan menjadi Uskup Yerusalem. Narcissus adalah seorang uskup yang sungguh luar biasa. Semua orang mengagumi kebajikan-kebajikannya, terkecuali mereka yang memilih untuk hidup jahat. Tiga musuh Narcissus mendakwanya melakukan suatu kejahatan yang mengerikan. Seorang dari mereka mengatakan, “Biar aku mati terbakar jika apa yang kukatakan tidak benar!” Yang kedua mengatakan, “Biar aku terjangkit kusta jika apa yang kukatakan tidak benar!” Dan yang ketiga mengatakan, “Biar aku menjadi buta jika apa yang kukatakan tidak benar!” Namun demikian, tiada seorang pun yang mempercayai dusta mereka. Orang banyak telah melihat sendiri kebajikan hidup Narcissus. Mereka tahu orang macam apa Narcissus itu.










Meski tak seorang pun percaya pada fitnah keji yang dilontarkan terhadapnya, Narcissus mempergunakannya sebagai alasan untuk pergi mengasingkan diri di padang gurun. Segenap kepercayaannya ada pada Tuhan, yang ia layani dengan begitu penuh cinta. Dan Tuhan menunjukkan bahwa fitnah yang diceritakan orang-orang itu sama sekali tidak benar. Narcissus kembali menjadi Uskup Yerusalem, sehingga umatnya bersukacita. Meski ia semakin bertambah tua, tampaknya ia semakin berkobar-kobar dari sebelumnya. Sesungguhnya, ia tampak lebih kuat dari sebelumnya pula, selama beberapa tahun sesudahnya. Lalu, ia menjadi terlalu lemah untuk melanjutkan karyanya. Ia memohon kepada Tuhan agar mengutus seorang uskup untuk membantunya. Tuhan kita mengirimkan kepadanya seorang kudus lain, Alexander dari Cappadocia. Dengan semangat kasih yang bernyala-nyala, mereka berdua memimpin keuskupan bersama. Narcissus berusia hingga 116 tahun lebih. Ia wafat pada tahun 215.

Sumber : Yesaya.indocell.net


Sabtu, 19 November 2011

St. Makrina Muda




St Basilius Tua dan St Emilia dianugerahi sepuluh anak. Keluarga mereka tinggal di Kaisarea. Anak sulung mereka, Makrina, dilahirkan sekitar tahun 330. Ketika usianya duabelas tahun, Makrina dipertunangkan dengan seorang pemuda sesuai adat kebiasaan pada masa itu. Tetapi, tunangannya mati mendadak dan Makrina mengatakan kepada orangtuanya bahwa ia ingin hidup selibat.

Makrina adalah kakak bagi sembilan saudara dan saudari. Selain dari orangtua dan dirinya sendiri, tiga saudara laki-lakinya kelak dinyatakan kudus juga. St Basilius Agung, St Petrus dari Sebaste dan St Gregorius dari Nyssa semuanya adalah uskup. Makrina membantu membesarkan saudara-saudaranya dan mereka mengasihinya. St Petrus dari Sebaste mengenangkan kakaknya dengan penuh rasa terimakasih teristimewa sebab Makrina mengasuhnya penuh kasih semasa ia bayi. Petrus dilahirkan pada tahun yang sama ayahnya wafat. Anak-anak tumbuh dewasa dan St Basilius Agung mendapatkan tempat bagi ibunya dan Makrina, semacam biara dan banyak perempuan di wilayah itu datang untuk menjalani kehidupan rohani di sana.

Setelah St Emilia wafat, Makrina terus hidup sebagai selayaknya seorang biarawati. Ia bekerja keras dan membagi-bagikan segala milik keluarga terkecuali yang sungguh dibutuhkannya. Saudaranya, Basilius, wafat pada tahun 379. Pada tahun yang sama, Makrina jatuh sakit. Saudaranya, St Gregorius dari Nyssa, pulang untuk mengunjunginya. Telah delapan tahun St Gregorius meninggalkan rumah. Ia mendapati Makrina di ambang maut. Tubuhnya yang rapuh terbaring di atas dua lembar papan. Beberapa jam kemudian, Makrina pun dihantar pulang ke rumah Bapa.

St Gregorius bersama uskup setempat dan dua orang imam mengusung peti jenazah Makrina ke pemakaman. Iring-iringannya panjang dan banyak orang menangis. St Gregorius menulis mengenai Makrina dan dari sanalah keindahan hidupnya kita kenal.

Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Laurensius





Jika kita sedang merasa uring-uringan terhadap sesuatu yang mengganggu kita, baiklah kita mohon bantuan St. Laurensius agar ia mendoakan kita dan membantu kita agar tetap sabar dalam menanggung pencobaan. Siapakah St. Laurensius?

Laurensius hidup pada abad ketiga. Ia adalah salah seorang dari ketujuh Diakon Roma di bawah Paus St. Sixtus II. Mereka bertugas untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin. Pada masa itu, umat Kristiani mengalami penganiayaan hebat dalam pemerintahan Kaisar Valerian. Kaisar memerintahkan agar Paus St. Sixtus II beserta keenam diakon lainnya dijatuhi hukuman penggal, sehingga tinggallah Laurensius seorang diri. Sementara Paus digiring ke tempat hukuman mati, Laurensius mengikutinya sambil menangis, “Bapa, mengapa engkau pergi meninggalkan aku?” Paus menjawabnya, “Aku tidak meninggalkan engkau, anakku. Tiga hari lagi engkau akan bersamaku.”

Laurensius amat gembira karena ia juga akan diperbolehkan menerima piala kemartiran. Laurensius membagi-bagikan semua uang yang masih ada padanya kepada mereka yang membutuhkan. Ia bahkan juga menjual bejana-bejana berharga milik Gereja dan membagikan uangnya kepada mereka yang miskin papa.

Cornelius Saecularis, yang pada waktu itu menjabat sebagai penguasa Roma, mengira bahwa Gereja menyimpan suatu harta karun yang tersembunyi. Maka Cornelius memanggil Laurensius dan berkata kepadanya, “Aku tahu bahwa menurut ajaran kalian, kalian harus menyerahkan kepada kaisar segala milik kaisar. Allah-mu tidak membawa uang ke dunia ketika Ia datang, Ia hanya membawa ajaran-Nya. Jadi, berikanlah uangnya kepada kami, kalian boleh menyimpan ajaran-Nya.” Cornelius juga berjanji akan membebaskan Laurensius jika saja ia mau menyerahkan seluruh kekayaan Gereja kepada kaisar. Laurensius menyanggupi permintaan Cornelius. Ia minta diberi waktu tiga hari untuk mengumpulkan seluruh harta Gereja. 

Maka, pergilah Laurensius menjelajahi kota selama tiga hari untuk mengumpulkan orang-orang yang sakit, fakir miskin, jompo, janda serta para yatim piatu. Pada hari yang ketiga ia membawa mereka semua ke hadapan penguasa Roma, katanya, “Tuan, inilah harta karun Gereja!”

Penguasa Roma itu menjadi sangat murka. Dalam amarahnya ia memerintahkan agar Laurensius dijatuhi hukuman mati secara perlahan dan kejam. Laurensius diikatkan pada panggangan besi raksasa yang dipanaskan di atas api yang kecil sehingga api memanggang daging tubuhnya secara perlahan-lahan. Laurensius memang terbakar, tetapi bukan oleh api, melainkan oleh rasa cinta yang amat mendalam kepada Tuhan. Oleh karena itu, Laurensius menjalani siksaannya dengan ketabahan yang mengagumkan. Tuhan juga memberinya kekuatan dan sukacita yang luar biasa, hingga Laurensius masih sempat bercanda, “Balikkan tubuhku,” katanya kepada algojo, “yang sebelah sini sudah matang!”

Kemudian, ”Ya, sudah cukup matang sekarang!” Sementara Laurensius terbaring sekarat, wajahnya memancarkan sinar surgawi. Laurensius berdoa agar penduduk kota Roma bertobat dan berbalik kepada Yesus dan semoga iman Katolik menyebar ke seluruh dunia. Usai mengucapkan doanya, Laurensius pergi menjumpai Yesus, Paus Sixtus dan semua para kudus di surga.

Keberanian serta ketabahan Laurensius menyentuh banyak orang sehingga banyak penduduk Roma yang akhirnya bertobat. St. Laurensius wafat pada tanggal 10 Agustus tahun 258. Pestanya dirayakan setiap tanggal 10 Agustus. Demi menghormatinya, Kaisar Konstantinus membangun sebuah basilika yang indah. Nama St Laurensius ada di antara para kudus Dalam Doa Syukur Agung Pertama dalam Misa.


Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Kalistus I


St. Paus Kalistus IPaus hebat yang wafat sebagai martir ini hidup pada awal abad ketiga. Dulunya ia seorang budak belian muda di Roma yang terjerumus dalam suatu masalah yang amat serius. Tuannya, seorang Kristen, memberinya tanggung jawab untuk mengelola sebuah bank. Suatu ketika, Kalistus kehilangan uang yang dititipkan kepadanya oleh orang-orang Kristen lainnya. Karena ketakutan, Kalistus melarikan diri dari Roma. Ia tertangkap setelah mencoba meloloskan diri dengan menceburkan diri ke dalam laut. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya sungguh sangat mengerikan: ia dirantai dan dihukum kerja paksa di sebuah penggilingan.

Kalistus dibebaskan dari hukuman ini hanya karena para nasabahnya berharap bahwa ia dapat mengembalikan sebagian dari uang mereka. Tetapi, sekali lagi ia ditangkap. Kali ini karena ia terlibat dalam suatu perkelahian. Kalistus dikirim ke pertambangan-pertambangan di Sardinia. Ketika kaisar membebaskan semua tawanan Kristen yang dihukum di pertambangan-pertambangan tersebut, Kalistus juga ikut dibebaskan. Sejak saat itu, hidupnya mulai membaik.

Paus St. Zephrinus mengenal serta memberikan kepercayaan kepada budak yang baru dibebaskan itu. Ia menugaskan Kalistus untuk mengurus pemakaman umum umat Kristiani di Roma. Sekarang pemakaman tersebut dinamai sesuai namanya: Katakombe St. Kalistus. Banyak paus dimakamkan dalam katakombe tersebut. Kalistus membuktikan bahwa dirinya pantas mendapat kepercayaan dari Bapa Suci. St. Zephrinus tidak saja mentahbiskannya sebagai seorang imam, tetapi juga menganggapnya sebagai seorang sahabat sekaligus penasehat.

Kelak, St. Kalistus sendiri menjadi seorang paus. Sebagian orang mengeluh karena ia terlalu murah hati kepada orang-orang berdosa. Namun demikian, paus yang kudus itu memutuskan bahwa bahkan para pembunuh pun diperkenankan menerima Komuni Kudus setelah mereka bertobat serta mengakukan dosa-dosa mereka. Paus hebat ini selalu mempertahankan ajaran-ajaran Yesus yang benar. Ia wafat pada tahun 222 dalam kemuliaan seorang martir.

Sumber : Yesaya.indocell.net


St. James Dukett


James Duckett adalah seorang Inggris yang hidup dalam masa pemerintahan Ratu Elizabeth I. Pemuda James magang pada sebuah percetakan di London. Karena pekerjaannya inilah ia mengenal sebuah buku berjudul Pondasi Kokoh Agama Katolik. Ia mempelajarinya dengan seksama dan yakin bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang benar. Pada masa itu, di Inggris umat Katolik mengalami penganiayaan. James memutuskan bahwa bagaimanapun ia tetap ingin menjadi seorang Katolik dan siap menanggung segala konsekuensinya. Pemimpin ibadah di gerejanya yang terdahulu datang mencarinya sebab James adalah seorang yang tekun ke gereja. Tetapi James tidak mau kembali. Dua kali untuk masa yang singkat ia dijebloskan ke dalam penjara karena ketegaran hatinya itu. Dua kali majikannya menengahi dan membebaskannya. Tetapi kemudian sang majikan meminta James untuk mencari pekerjan di tempat lain.

James Duckett tahu bahwa ia tidak akan kembali. Ia mencari dan akhirnya menemukan seorang imam Katolik yang menyamar di penjara Gatehouse. Sang imam tua, “Mr. Weekes,” membimbingnya dalam iman. Duckett diterima dalam pangkuan Gereja Katolik. Ia menikah dengan seorang janda Katolik dan putera mereka kelak menjadi seorang biarawan Carthusian. Putranya inilah yang banyak mencatat apa yang kemudian kita ketahui mengenai ayahnya.

Beato Duckett tidak pernah lupa bahwa sebuah bukulah yang menghantarnya ke jalan Gereja. Sebab itu ia menganggap sebagai tanggung jawabnya untuk menyediakan buku-buku Katolik bagi orang banyak. Ia tahu bahwa buku-buku ini akan menyemangati dan mengajar mereka. “Pekerjaannya” ini sungguh berbahaya hingga ia melewatkan sembilan tahun dari duabelas tahun hidup perkawinannya dalam penjara. Akhirnya ia dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati atas kesaksian satu orang, Peter Bullock, seorang penjilid buku. Peter memberi kesaksian bahwa ia mengerjakan penjilidan buku-buku Katolik untuk Beato Duckett, “seorang penghujat besar”. Peter Bullock berbalik menjadi seorang pengkhianat sebab ia dijebloskan ke dalam penjara karena masalah-masalah lain; dengan kesaksiannya ia berharap dapat dibebaskan dari penjara.

Keduanya dijatuhi hukuman mati pada hari yang sama. Di tiang gantungan di Tyburn, Beato Duckett meyakinkan Bullock bahwa ia telah mengampuninya. Sementara mereka berdua menyongsong maut, Duckett terus menyemangati rekannya untuk menerima iman Katolik. Lalu tali-tali dikalungkan pada leher mereka. Beato Duckett wafat sebagai martir pada tahun 1602.


Sumber : Yesaya.indocell.net

Kamis, 17 November 2011

St. Heindrich II




Heindrich dilahirkan pada tahun 972. Ia menjadi Pangeran Bavaria pada tahun 995. Suatu malam, ia mendapatkan suatu penglihatan yang aneh. St Wolfgang, gurunya terkasih semasa ia kanak-kanak, menampakkan diri kepadanya. Wolfgang menunjuk pada kata-kata “sesudah enam” yang tertulis di dinding. Tetapi, apakah itu artinya? Apakah mungkin Heindrich akan meninggal dunia dalam waktu enam hari? Dengan pemikiran itu, ia berdoa dengan amat tekun dan sungguh selama enam hari. Tetapi, di akhir hari keenam, ia sehat walafiat. Apakah mungkin berarti enam bulan? Sang pangeran mengabdikan diri pada perbuatan baik lebih dari sebelumnya. Di akhir bulan keenam, ia merasa jauh lebih sehat dari sebelumnya. Jadi, ia memutuskan bahwa ia mempunyai enam tahun untuk mempersiapkan kematiannya. Setelah masa enam tahun berlalu, bukannya meninggal, malahan ia dipilih menjadi Kaisar Jerman. Maka, mengertilah ia akan apa arti penglihatan itu.

Heindrich berupaya sekuat tenaga agar rakyatnya tenteram dan damai. Demi membela keadilan, ia harus bertempur dalam banyak peperangan. Ia seorang yang jujur dalam pertempuran dan ia mendesak agar bala tentaranya bersikap demikian pula. Sekitar tahun 998, Heindrich menikah dengan seorang perempuan yang amat lemah lembut dan penuh belas kasih bernama Kunigunda. Kunigunda juga kelak dimaklumkan sebagai seorang kudus. Heindrich dan Kunigunda pergi ke Roma pada tahun 1014. Mereka dimahkotai sebagai kaisar dan permaisuri dari Kekaisaran Romawi yang Kudus. Suatu kehormatan besar sebab Paus Benediktus VIII sendiri yang memahkotai mereka.

Kaisar Heindrich adalah salah seorang penguasa terbaik Kekaisaran Romawi yang Kudus. Ia mendorong dilakukannya reformasi dalam Gereja. Ia memajukan perkembangan biara-biara baru dan mendirikan gereja-gereja yang indah. Ia menunjukkan kasihnya kepada Yesus dan Gereja dengan ketulusan dan cinta kasih. Ia adalah seorang pendoa dan amat terpikat pada kehidupan religius. Namun demikian, ia menerima perannya sebagai seorang suami dan pemimpin, dan menunaikan tugas tanggung jawabnya sepenuh hati. Heindrich baru berusia limapuluh dua tahun ketika ia wafat pada tahun 1024. Ia dimaklumkan sebagai santo oleh Beato Eugenius III pada tahun 1146. Paus St Pius X memaklumkan Kaisar Heindrich sebagai pelindung Oblate Benediktin.


Sumber : Yesaya.indocell.net

St. Gabriel-Malaikat


MA St. Mikhael
Mikhael, Gabriel dan Rafael disebut “santo” karena mereka kudus. Namun demikian, mereka berbeda dari para kudus lainnya karena mereka bukanlah manusia. Mereka adalah malaikat, mereka melindungi manusia. Kita dapat mengetahui sedikit tentang masing-masing dari mereka dari Kitab Suci.

Nama Mikhael artinya “Siapa dapat menyamai Tuhan?” Tiga kitab dalam Kitab Suci bercerita tentang St. Mikhael, yaitu: Daniel, Wahyu dan Surat Yudas. Dalam Kitab Wahyu bab 12:7-9, kita membaca tentang suatu pertempuran besar yang terjadi di surga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan Satan. Mikhael menjadi pemenang karena setia kepada Tuhan. Kita dapat mohon bantuan St. Mikhael untuk menjadikan kita teguh dalam kasih kepada Yesus dan dalam mempraktekan iman Katolik kita.

Nama Gabriel berarti “Tuhan kemenanganku”. Ia juga disebutkan dalam kitab Daniel. Gabriel kita kenal dengan baik karena ia termasuk salah satu tokoh penting dalam Injil Lukas. Malaikat Agung ini menyampaikan kepada Maria bahwa ia akan menjadi Bunda Juruselamat kita. Gabriel menyampaikan kepada Zakharia bahwa ia dan Elisabet akan dikarunia seorang putera yang akan dinamai Yohanes. Gabriel adalah pembawa warta, utusan Tuhan untuk menyampaikan Kabar Sukacita. Kita dapat mohon bantuan St. Gabriel untuk menjadikan kita pembawa warta, seorang utusan Tuhan seperti dirinya.

Nama Rafael artinya “Tuhan menyembuhkan”. Kita membaca kisah yang menyentuh tentang tugas Rafael dalam kitab Tobit dalam Kitab Suci. Ia memberikan perlindungan serta penyembuhan bagi mata Tobit yang buta. Pada akhir perjalanan, ketika segala sesuatunya telah berakhir, Rafael menyatakan jati dirinya yang sebenarnya. Ia menyebut dirinya sebagai salah satu dari ketujuh malaikat yang melayani di hadapan tahta Allah. Kita dapat mohon bantuan St Rafael untuk melindungi kita dalam perjalanan, bahkan dalam perjalanan yang amat dekat sekali pun, seperti misalnya pergi ke sekolah. Kita juga dapat mohon pertolongannya ketika kita atau seseorang yang kita kasihi diserang penyakit.


Sumber : Yesaya.indocell.net

St Fabianus


St. Sebastianus
Fabianus adalah seorang paus yang wafat sebagai martir pada tahun 250, yaitu pada masa penganiayaan oleh Kaisar Decius. Dalam catatan dikatakan bahwa Fabianus merupakan seorang yang luar biasa, seorang yang dikenal sangat kudus. Dalam sepucuk surat yang ditulis tak lama sesudah kematian Fabianus, St. Siprianus menjelaskan bagaimana Fabianus terpilih sebagai paus. Kelompok yang berkumpul untuk memilih paus menerima suatu tanda nyata bahwa pilihan harus dijatuhkan kepada Fabianus. Ia adalah orang awam pertama yang menjadi paus. Sebagai uskup dan martir, jenasah Fabianus ditempatkan di Basilika St. Sebastianus. Kedua martir ini, St. Fabianus dan St. Sebastianus, dirayakan pestanya pada hari yang sama.

Sebastianus dikenal luas sejak dari masa Gereja Perdana. Sebagai seorang perwira Romawi, ia dikenal oleh karena kebaikan hatinya dan kegagahannya. Dalam masa penganiayaan oleh Kaisar Diocletian, Sebastianus tidak mau mengingkari iman Kristianinya. Para pemanah membidikkan anak-anak panah ke tubuhnya dan meninggalkannya dalam keadaan hampir mati. Ketika seorang janda yang kudus hendak menguburkan jenasahnya, ia sangat terkejut mendapati bahwa Sebastianus masih hidup. Janda itu membawanya pulang ke rumahnya serta merawat luka-lukanya. Ketika Sebastianus telah sembuh kembali, janda itu berusaha membujuknya untuk meloloskan diri dari penganiayaan oleh bangsa Romawi. Tetapi, Sebastianus adalah seorang ksatria yang gagah berani. Ia tidak hendak melarikan diri. Ia bahkan mendatangi Kaisar Diocletian dan mendesaknya untuk segera menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani.

Kaisar sangat terperanjat melihat bahwa Sebastianus masih hidup. Ia menolak mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh perwiranya itu. Diocletian memerintahkan agar Sebastianus segera didera hingga tewas. Sebastianus wafat sebagai martir pada tahun 288.


Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Eanswida


Eanswida hidup pada abad ketujuh. Ia adalah cucu St Ethelbert, raja Kristen pertama dalam kerajaan Inggris. Ayahnya adalah Pangeran Edbald. Pada mulanya, Edbald bukanlah seorang religius, tetapi ia banyak belajar mengenai kekristenan dari puterinya. Eanswida seorang gadis yang saleh pun menarik. Ayahnya telah memilihkan seorang calon suami yang baik untuknya, seorang pangeran kafir dari Northumbria. Eanswida sama sekali tidak senang. Ia menolak menikah dengan suatu gurauan yang halus, agar jangan sampai menyinggung hati ayahnya. Edbald menghormati keinginan puterinya dan ayahnya itu mengejutkan semua orang ketika ia mengijinkan puterinya untuk memulai suatu biara bagi para biarawati.

Puteri Eanswida adalah seorang biarawati yang riang gembira. Ia hidup sederhana dan dalam doa seperti para biarawati lainnya. Ia menghabiskan seluruh sisa hidupnya dalam matiraga dan doa bagi dirinya sendiri dan bagi segenap rakyat negerinya. Eanswida wafat pada tanggal 31 Agustus tahun 640.

Kaum Danes di kemudian hari menghancurkan biaranya, tetapi para biarawan Benediktin mendirikan biara kembali pada tahun 1095.


Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Damasus I




Damasus dilahirkan di Roma dan hidup pada abad keempat, pada masa Gereja Perdana. Ia adalah seorang imam yang murah hati dan suka berkurban. Ketika Paus Liberius wafat pada tahun 366, Damasus diangkat menjadi paus. Ia harus menghadapi banyak persoalan yang berat. Ada seorang paus tandingan (anti paus) bernama Felix. Felix beserta para pengikutnya berusaha menganiaya Damasus. Mereka menyebarkan berita bohong tentang dirinya, terutama tentang kehidupan moral pribadinya. Karenanya, Paus Damasus harus dihadapkan ke pengadilan di bawah penguasa Romawi. Damasus terbukti tidak bersalah, tetapi ia mengalami begitu banyak penderitaan karena peristiwa tersebut. Sahabatnya, St. Hieronimus, berbicara dengan tegas mengenai kebaikan-kebaikan paus. Dan Hieronimus mempunyai martabat yang tinggi.

Paus Damasus menyadari bahwa para imam di kota mempunyai gaya hidup yang terlalu mewah. Sementara para imam di desa hidup jauh lebih sederhana. Damasus meminta para imam untuk menyederhanakan gaya hidup mereka dan tidak terikat pada harta serta milik. Ia sendiri menjadi teladan yang mengagumkan. 

Ada juga begitu banyak bidaah (=ajaran sesat) selama masa kepemimpinannya sebagai paus. Damasus menjelaskan iman yang benar. Ia juga mengadakan Konsili Ekumenis Kedua yang diselenggarakan di Konstantinopel. Paus Damasus dengan sungguh-sungguh berusaha membangkitkan semangat untuk mencintai Kitab Suci. Ia menugaskankan St. Hieronimus untuk menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Latin. Ia juga mengubah bahasa resmi liturgi dari bahasa Yunani - kecuali Kyrie - ke bahasa Latin.

Paus St. Damasus wafat pada usia sekitar delapanpuluh tahun pada tanggal 11 Desember 384. Ia dimakamkan di samping ibu dan saudarinya di sebuah kapel kecil yang dibangunnya.


Sumber : Yesaya.indocell.net


St. Caesarius dari Nazianzen


Caesarius hidup pada abad keempat di wilayah yang sekarang disebut Turki. Ayahnya adalah Uskup Nazianzen. Pada waktu itu uskup dan imam boleh menikah. Saudara Caesarius adalah St Gregorius dari Nazianzen, sahabat karib St Basilius. Di samping seorang santo, Gregorius adalah seorang penulis penting dari Gereja awali. Buku-bukunya masih dibaca hingga sekarang.

Keduanya, Caesarius dan Gregorius, mengenyam pendidikan yang baik. Gregorius bercita-cita menjadi seorang imam; Caesarius bercita-cita menjadi seorang dokter. Keduanya pergi ke sekolah yang akan membantu mereka mencapai cita-cita.

Caesarius menamatkan pendidikan di bidang kedokteran di Konstantinopel. Segera ia menjadi seorang dokter ternama dan terpercaya. Sesungguhnya, Kaisar Konstantius yang tinggal di Kontantinopel, menghendaki Caesarius menjadi dokter pribadinya. Caesarius berterima kasih kepada kaisar, tetapi secara halus menolak. Ia ingin kmbali ke Nazianzen, kota kelahirannya.

Akan tetapi, beberapa waktu kemudian, Caesarius dipanggil kembali untuk melayani kaisar di Konstantinopel. Pada waktu itu adalah seorang yang dikenal dalam sejarah sebagai Julian si murtad. Seorang yang murtad adalah seorang yang mengingkari iman Kristennya. Orang ini mengemban perintah resmi melawan kekristenan. Meski begitu, ia bermaksud membebaskan Caesarius dari hukuman, sebab Caesarius adalah seorang dokter yang amat cakap. Kepada Caesarius ditawarkan kedudukan, harta dan hak-hak istimewa. Ayah maupun saudara Caesarius menasehatinya untuk menolak segala tawaran. Mereka menyarankannya untuk pulang ke rumah dan membuka praktek dokter.

Pada tahun 368, Caesarius nyaris tewas dalam suatu gempa bumi. Ia berhasil lolos tanpa cedera, tetapi amat terguncang oleh kejadian itu. Ia merasa Tuhan mengatakan kepadanya untuk menempuh hidup dalam doa jauh dari keruwetan hidup di istana. Caesarius membagi-bagikan harta miliknya kepada kaum miskin. Ia mulai menempuh hidup dalam doa dan keheningan.

St Caesarius wafat tak lama kemudian pada tahun 369. Homili dalam Misa Pemakamannya disampaikan oleh saudaranya, St Gregorius.